Tuesday, November 02, 2010

Resep Membesarkan Partai Ala Partai Demokrat

RESEP MEMBESARKAN PARTAI ALA PARTAI DEMOKRAT
H. Navarin Karim, M.Si* dan Ahmad Subhan, S.IP, M.Si**


Partai Demokrat (PD) mulai berkiprah dalam Pemilu pada tahun 2004. Partai ini betul-betul fenomenal, begitu pertama kali mengikuti pemilu legislatif, ia berhasil masuk peringkat lima partai besar di Indonesia dan calon presiden yang diusungnyapun berhasil terpilih secara demokratis dalam pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Pemilu tahun 2009 makin fantastis lagi, dalam pemilu legislatif ia memperoleh dukungan suara terbanyak, bahkan di daerah yang merupakan kantong-kantong partai Islampun dapat didominasinya, seperti di Jawa Timur dan NAD. Kenyataan ini adalah lompatan besar bagi PD yang beranjak dari peringkat lima menjadi peringkat pertama. Capres incumbent Susilo Bambang Yudhoyono pun kembali mulus menjadi presiden Indonesia periode 2009-2014.

Menarik untuk ditelaah lebih lanjut bagaimana resep PD melakukan rekruitmen anggota partai sehingga menjadi partai yang saat ini mempunyai keterwakilan yang signifikan hampir di setiap level legislatif, mulai di pusat maupun daerah.

Rekrutmen Taktis PD
Ada beberapa langkah taktis yang dilakukan PD, sehingga mampu melampaui partai lain yang dianggap lebih reformis. Pertama : mengambil kader dari lembaga independen. Salah satu contohnya, keberhasilan PD merekrut Anas Urbaningrum dan Andi Nurpati. Hal ini mempengaruhi politik pencitraan partai, dengan merekrut dari lembaga independen dan penegak demokrasi tersebut diharapkan memberikan citra bahwa PD adalah partai orang-orang jujur dan mampu berpolitik secara santun. Anas Urbaningrum adalah simbol oknum Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak terlibat kasus korupsi. Selain itu secara teknis, kompetensi kedua tokoh tersebut sebagai mantan penyelenggara Pemilu tentunya akan memberi masukan yang berharga bagi penyusunan stategi partai yang efektif dan efisien dalam pemenangan Pemilu. Penguasaan aturan main disertai pemahaman politik praktis di pusat dan daerah tentunya membuat kedua tokoh tersebut lebih matang dalam mengambil langkah-langkah pemenangan partai berlambang bintang segi tiga ini.

Kedua : merekrut tokoh yang punya potensi, tapi kalah di partai asalnya. Seperti A. Fattah, gagal mempertahankan posisi ketua DPD Partai Golkar Batanghari, maka ia minta dukungan kepada PD dalam Pemilukada 2010, dan berhasil menjadi Bupati untuk kali kedua. Keinginan Fattah ini tentu direspon baik oleh PD, apalagi semasa kepemimpinan Fattah di Batanghari ia boleh dikatakan tidak ada terlibat dalam kasus-kasus yang bisa mencoreng namanya.

Ketiga : merangkul tokoh yang telah populer, tetapi tidak mendapat perhatian dari partainya. Seperti Ruhut Sitompul dari partai asal (Partai Golkar) loncat pagar ke PD. Di partai barunya ini, tidak tanggung-tanggung ia masuk dalam tim suksesnya SBY. Ia dimanfaatkan sebagai pemancing emosi lawan politik, dianalogikan seperti Gennaro Gattuso dalam kesebelasan Italia. Logikanya jika orang sudah terpancing emosi, tentu tidak akan bermain cantik lagi. Ia juga berperan sebagai pelempar wacana yang bisa mengalihkan perhatian ataupun untuk melihat bagaimana respons publik terhadap usulan wacana tersebut.

Keempat : menampung pejabat yang minta perlindungan. Dapat dilihat pada kasus Walikota Jambi, Bambang Priyanto (BP). Ketika pertama ia mencalonkan diri sebagai walikota, ia mendapat dukungan dari Partai Amanat Nasional (PAN), tetapi setelah ia menjadi Walikota, ia ditinggalkan PAN. Upaya yang dilakukan BP adalah minta dukungan dengan Partai Demokrat. Bak gayung bersambut, PD pun menerima BP sebagai warga Demokrat dan tak tanggung-tanggung sebagai aset partai, ia pun di daulat menjadi pembina Partai Demokrat Kota Jambi. Namun di satu sisi, banyak juga kepala daerah lain yang hijrah ke PD dalam konteks perlindungan atas tuntutan kasus korupsi. Menurut ICW ada tujuh kepala daerah yang terlibat kasus korupsi ternyata merasa nyaman menjadi kader Partai Demokrat, sebab hukum seakan-akan lunglai menyentuh mereka (Media Indonesia, 25 Oktober 2010). Artinya, PD harus lebih selektif menerima kepala daerah untuk bergabung, karena salah-salah malah akan menimbulkan stigma bahwa PD sebagai bungker koruptor.

Kelima : mendukung kandidat kepala daerah yang punya karakter kuat. Masih segar dalam ingatan kita partai yang pertama mendeklarasikan mendukung Hasan Basri Agus (HBA) sebagai calon Gubernur Jambi adalah partai Demokrat, seharusnya Partai Golkar yang pertama mendukung HBA karena lebih punya kedekatan emosional. Kandidat dengan popularitas dan elektabilitas kuat tentu lebih berpeluang menjadi pemenang dan akan mengangkat nama PD sebagai partai pengusungnya.

Lebih PD
Sederet resep taktis di atas, memperkuat kesan bahwa partai politik saat ini tak ubahnya seperti perahu yang ditumpangi sesuai dengan kepentingan si penumpang. Tidak ada ikatan ideologi yang kental untuk membatasi dan menjadi saringan dalam merekrut anggota. Malah ada kecenderungan berkumpulnya kepala daerah ke dalam satu partai besar yang sedang berkuasa dengan motif kepentingan masing-masing. Perahu partai politik yang ditumpangi oleh banyak politisi dengan sumber daya yang kuat, akan lebih PD (percaya diri) berkompetisi dengan parpol lainnya pada Pemilu 2014 yang akan datang.

* Ketua Pusat Kajian Sosial Politik (PKSP) STISIP NH Jambi
** Sekretaris PKSP STISIP NH dan Peneliti Balitbangda Prov. Jambi


-- dimuat di harian Jambi Ekspres, 2 November 2010 --

Friday, June 15, 2007

Wajah Tradisional Birokrasi Indonesia

Di era modernisasi sekarang ini, birokrasi tampaknya mulai berusaha berbenah diri untuk menciptakan birokrasi yang legal rasional. Sebagai pelayan masyarakat, birokrasi dituntut untuk lebih responsif terhadap kebutuhan publik, dengan memiliki profesionalitas dalam menjalankan tugasnya. Namun usaha ini akan mendapat hambatan yang cukup berarti ketika dihadapkan dengan nilai-nilai kultur kemasyarakatan.
Adanya variasi dan keanekaragaman budaya akan mewarnai variasi pola perilaku masyarakat tempat kebudayaan tersebut berlaku. Dalam konteks tersebut, perilaku individu dalam organisasi tidak dapat dipisahkan dari pengaruh lokalitas budaya yang berkembang. Birokrasi sebagai sebuah organisasi tentu ikut terpengaruh lingkungan budaya, terlihat pada pola-pola interaksi internal dengan sistem nilai dan budaya lokal. Singkatnya, budaya birokrasi di daerah tertentu tidak dapat dilepaskan dari pola budaya lingkungan sosial yang melingkupinya.
Di negara-negara yang telah bebas dari penjajahan kolonial pada umumnya terdapat tipe birokrasi modern di samping birokrasi dengan pengaruh budaya tradisional asli yang kuat. Dengan demikian, agaknya sudah menjadi gejala umum, bahwa struktur tradisional masih terus mewarnai sosok birokrasi yang modern.
Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia tidak terlepas dari realitas di atas. Meski telah mengenal dan menerapkan konsep birokrasi modern melalui beambtenstaat, namun jauh sebelum itu, masyarakat Indonesia sudah mengenal dan menerapkan sejenis “birokrasi kerajaan” yang feodal-aristokratik. Sehingga dalam upaya penerapan birokrasi modern, yang terjadi hanyalah menyangkut bentuk luarnya saja, belum tata nilainya. Sebagaimana terlihat birokrasi yang diterapkan di Indonesia telah mendekati pengertian Weber tentang “dominasi patrimonial”, di mana jabatan dan perilaku dalam keseluruhan hirarki lebih didasarkan pada hubungan pribadi dan hubungan “bapak-anak buah” atau patron-client relationship.
Dalam birokrasi patrimonial, kedudukan penguasa dikultuskan oleh kebiasaan/tradisi. Penguasa menjalankan kekuasaan yang tidak terkendali dengan mengedepankan kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itu rakyat akan selalu taat dan memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan penguasa. Rakyat akan selalu membenarkan tindakannya, dengan alasan bahwa mengganggu dunia tradisi ini berarti akan membahayakan keselamatan mereka. Para hamba penguasa yang berpartisipasi dalam proses pemerintahan cenderung untuk tidak menentang kemapanan (status quo). Mereka akan mendapatkan keuntungan tersendiri, selama mereka loyal dan memberi hak-hak istimewa terhadap penguasa.
Selo Soemardjan (1986) menyebutkan bahwa abdi dalem sangat erat hubungannya dengan birokrasi dan administrasi negara, khususnya Keraton Yogyakarta. Abdi dalem adalah sekelompok warga masyarakat yang diberi prestise tinggi oleh pihak keraton sebagai pihak yang menduduki posisi antara lapisan golongan bangsawan dengan orang kebanyakan.
Abdi dalem menurut Kamus Bausastra Jawa, “abdi” diterjemahkan sebagai hamba atau sahaya dan “dalem” berarti patik atau abdi raja. Kemudian mendapat sisipan “Ng” menjadi mengabdi, menghamba, menghambakan diri kepada raja. Oleh karena itu menjadi abdi dalem berarti menjadi hamba raja di dalam istana, yang selalu mundhi dhawuh dalem (mengemban titah raja).
Golongan abdi dalem ini sendiri masih terbagi dua, yaitu abdi dalem jero dan abdi dalem jaba. Abda dalem jero adalah abdi dalem yang bertugas di dalam keraton, sedangkan abdi dalem jaba adalah abdi dalem yang bertugas dalam bidang administrasi di luar keraton. Kedua golongan abdi dalem ini memiliki kesetiaan yang kuat kepada raja, dan memiliki rasa hormat yang tinggi pula terhadap setiap keluarga bangsawan. Keluarga bangsawan sebagai orang-orang terdekat dengan raja, dianggap sebagai orang sakti dan berkarisma bagi rakyatnya. Sama dengan pandangan para bangsawan bahwa mereka mempunyai motivasi yang tinggi untuk mengabdi kepada raja, oleh karena dapat membawa prestise dalam masyarakat baik bagi dirinya sendiri maupun bagi masyarakat dan keluarga-keluarga di sekitarnya. Makin dekat seorang abdi dalem dengan raja, baik dalam arti luas dan keagamaan, makin tinggi prestisenya di mata masyarakat. Meminjam istilah mereka apabila hubungan abdi dalem dekat dengan rajanya menjadikan mereka “kagem” atau digunakan oleh raja. Hal ini akan semakin menambah kebanggaan mereka.
Para abdi dalem ini kemudian berkembang menjadi sebuah kelas sosial sendiri yang berada terpisah dari lapis masyarakat pada umumnya. Mereka mendapatkan kesempatan untuk menurunkan kedudukannya pada anggota keluarga jika raja berkenan. Anggota-anggota keluarga lainnya juga mempunyai kesempatan menduduki jabatan-jabatan birokrasi, sehingga birokrasi bukan saja sebuah lembaga dengan fungsi-fungsinya, tetapi juga sebuah lapisan sosial. Sebagai penyelenggara kekuasaan, mereka termasuk dalam elite penguasa yang mempunyai orientasi ke atas kepada kepentingan raja, lebih daripada ke bawah kepada kepentingan orang-orang kecil.
Deskripsi umum tentang bagaimana keberadaan sebuah birokrasi patrimonial itu secara rinci dapat dilihat pada birokrasi kerajaan di Jawa, sejak zaman Majapahit sampai pada kerajaan-kerajaan di Yogyakarta dan Surakarta. Budaya birokrasi sebagai abdi dalem itu tentu saja sangat membekas dalam sistem nilai dan sistem pengetahuan masyarakat, sehingga dapat saja budaya itu masih melekat.
Secara kasat mata, masih ada pengaruh dari nilai-nilai birokrasi zaman kerajaan terhadap birokrasi modern sekarang ini. Terlihat dari masih adanya pola-pola hubungan yang bercorak patron klien dalam hubungan atasan dan bawahan dalam birokrasi kita, terutama pada birokrasi era Orde Baru. Hal ini membuktikan bahwa struktur tradisional masih terus inherent mewarnai sosok birokrasi yang modern.
Indonesia yang memang sejak dahulu sangat memegang teguh nilai-nilai budaya kemasyarakatan tentunya masih jauh dari harapan untuk menuju tatanan birokrasi yang rasional secara menyeluruh dari Sabang sampai Merauke.

There's Something about JK

Beberapa hari yang lalu, wapres Jusuf Kalla (JK) mengutarakan idenya yang "brilian". Dengan gaya khas pengusaha, beliau mengatakan tentang dibukanya kemungkinan PNS (pegawai negeri sipil) untuk dapat berperan aktif di parpol (partai politik).
Tanggapan mengenai ini langsung muncul. Ada yang mengatakan, ini hanya strategi Golkar untuk memperkuat dirinya, seperti di era Orde Baru yg lalu. Dengan banyaknya kepala daerah yang berasal dari partai beringin ini, dikhawatirkan muncul mobilisasi politik dari penguasa/atasan kepada bawahan. Kemungkinan ini masih kuat, mengingat masih kentalnya patronase di Indonesia.
Seirama dengan pendapat tersebut, pikiran saya sontak langsung mengarah pada konsep "otoriter-birokratik"nya G O'Donnel. Birokrasi akan didayagunakan sebagai penunjang legitimasi suatu rezim yang dalam perkembangannya sarat dengan nilai totalitarian. Birokrasi yang seharusnya berada di domain netral, akan kembali dilibatkan dalam tarik-menarik kepentingan, sebagai ciri khas dunia politik. Dampak minimal yang akan timbul adalah menurunnya kualitas pelayanan publik, yang notabene merupakan tugas utama birokrasi, karena sibuk bermanuver demi parpolnya. Publik yang menjadi korbannya.
Suatu ide memang harus dihargai di negara demokrasi ini. Namun, perlu dipikirkan timing yang tepat untuk memunculkannya. Belum lagi kita usai mereformasi birokrasi yang memang sudah sangat rusak, malah justru ditambahi dengan suatu konsep yang akan meluluhlantakkan bangunan ideal birokrasi.

Jaga Pilkada

Dalam waktu dekat, di Jambi akan dilaksanakan momen pilkada di 7 kabupaten dari total 10 kabupaten. Perhelatan demokrasi di daerah tengah Sumatera ini telah didahului oleh pemilihan Gubernur Jambi pada bulan September yg lalu, dengan hasil yg cukup mencengangkan, yaitu 80 % suara masuk kekantong pasangan Zulkifli Nurdin-Anthony Zedra Abidin. Pilgub lalu telah berjalan tertib, aman, dan lancar. Ini yang harus dipertahankan sebagai standar minimum pelaksanaan pilkada di kabupaten.
Memang, di ranah kabupaten/kota, rasa kedekatan dengan kandidat yang bertarung akan lebih menonjol. Didukung faktor geografis, kekeluargaan/sanak famili,serta konsesi2 politik yg lebih riil, menjadikan konflik horizontal mungkin terjadi. Berangkat dari sini, maka perlu diciptakan (bukan sekedar dipikirkan) suatu mekanisme pengelolaan konflik yang melibatkan seluruh stakeholders di kabupaten2 yang akan menggelar perhelatan demokrasi ini.
Untuk Jambi, tidak ada salahnya mengangkat isu label "Jambi adalah wilayah teraman di Indonesia" sebagai rambu-rambu terjadinya konflik fisik. Layaknya seorang juara bertahan yang pasti tidak ingin status terbaiknya lepas, diharapkan masyarakat Jambi dapat berupaya mempertahankan label tersebut. Jambi membutuhkan prestasi yang gemilang, setelah selama ini tidak begitu dikenal orang. Lebih baik lagi jika naik daun lewat kedewasaan masyarakatnya dalam berdemokrasi.
Perlu juga diingat, konflik tetap dibutuhkan dalam membangun suatu tatanan sosial, tapi konflik yang seperti apa dulu. Perbedaan pemikiran dan ide merupakan konflik yang positif, tinggal bagaimana mengelolanya untuk kemudian dapat melahirkan suatu kemajuan, seperti pemecahan problem sosial lewat musyawarah (sharing idea). Yang jelas tidak bisa kita tolerir ialah penyelesaian masalah lewat penggunaan kekerasan, seperti mobilisasi massa untuk bertindak anarki. Tindakan represif bukan jalan yang efektif dalam berpolitik, malah berpotensi menjadi bumerang bagi politisi, parpol, dan masyarakat umum.

File 4 Dec 05

Wednesday, June 14, 2006

Prolog

Salam Kawan
Blog ini sengaja saya hadirkan untuk menumpahkan ide-ide dan gagasan sederhana yang muncul dari hasil kerja dua belahan otak di kepala saya ini.
Karya-karya tulis yang sempat saya buat dalam rangka perkuliahan, sebagian akan saya tampilkan agar bisa mendapat respons berupa masukan atau kritik. Akan lebih berbahagia lagi jika bisa didiskusikan.
Jika tulisan-tulisan yang hadir nantinya sangat berbau sosial dan politik, maka suatu kewajaran karena sesuai dengan background saya yang ingin terus belajar mengenai sosial, ekonomi dan politik. Semoga bermanfaat.